Rabu, 14 September 2011

Thursday, 31 March 2011 at 23:43

Satu tulisan dengan kaidah - kaidah alamiah. berisi informasi dari perasaan yang berkolaborasi membentuk monolog yang tak habis dengan kontradiksi. Naik turunnya kehidupan, gelap terangnya perjalanan. Semua terekam namun terlupakan..

Satu tulisan mewakili penemuan arah atas jiwa yang sesat dalam keterasingan jati diri. Memuat semua ide – ide, pemikiran, dan picu dari motivasi yang kadang kendur. Apa yang menjadi energi untuk berdiri dan berlari menjauh dari ketersesatan tertulis dalam rangkaian kata anomali tak tentu rudu.

Aku pernah berdiri di puncak tertinggi, mendaki lereng terjal dan mengarungi lautan dengan ombak ekstrim. Aku pernah menampung air mata yang ingin segera ditumpahkan dan membendung getaran pita suara yang ingin segera meluapkan teriakan – teriakan cacian. Tapi aku tak sanggung menahan tujuan yang benar aku citakan. Langkah pertama takkan pernah ada jika langkah kedua ketiga tak terlaksanakan. Takkan pernah aku memulai jika takkan ku akhiri. Takkan pernah aku mendaki jika aku tak mencapai puncak. Anomali bukan!!

Sekarang aku disini dalam waktu dan tempat yang pernah aku rencanakan sebelumnya. Dengan segala batu jegalan dan batu loncatan untuk mencapainya. Tapi aku disini di waktu ini, dalam kondisi suasana hati yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Aku mencoba mengalir dalam aliran waktu, tapi tangan – tanganku selalu ingin menggapai ganjalan untuk menghambat laju arus waktu hanya untuk sekedar mendapati sesuatu dalam arus. Kuanggap sebagai bekal dalam perjalanan. Semakin cepat, semakin lancar, semakin bergejolak, semakin banyak yang aku temukan. Tapi semakin tenang arus semakin sedikit yang aku simpan. Demikian gambaran anomali dari apa yang pernah aku alami.

Aku tak pernah mau mengikuti arus. Aku hanya mengikuti naluriku dan kemana tangan – tanganku ingin menggapai. Sesekali aku temukan tambatan dimana jiwaku disejukkan dan ragaku disembuhkan dari luka –luka perjalanan. Dan aku terlena. Enggan untuk melepas diri dari buaian kelegaan. Di sisi lain tanganku selalu ingin menggapai.

Dimana seorang pendaki yang sudah mencapai puncak, seringnya mereka enggan melepaskan kelegaan dan keindahan untuk kembali turun. Tapi mereka harus turun. Dengan berbagai keengganan apapun mereka harus turun. Masih banyak yang harus mereka capai dibawah sana untuk mendaki lagi lain hari. Lain cerita dengan pendaki gila yang memilih berada di puncak selamanya untuk mengabadikan diri demi ketenangan jiwa. Tentu saja dengan perbekalan pengalaman maupun logistik memadai untuk selamanya.

Namun aku!? Aku masih ingin turun demi mengarungi arusku untuk menggapaikan tangan – tanganku di berbagai tambatan. Ntah itu ilmu, ntah itu pengalaman, ntah itu apapun. Butuh perbekalan matang untuk kembali mendaki mencapai puncak. Yang aku butuhkan sekarang hanya mengalir dalam arus.

Belum berakhir disini.

Mungkin bagi anda para pembaca yang notabene mengenal saya, pasti mengira saya sekarang sedang berlarut – larut dalam perasaan. Atau biasa anda sekalian sebut galau. Bahkan ada dari anda yang meninggikan tulisan ini sebagai patokan untuk tulisan anda selanjutnya. Sampai anda menyadari tulisan ini ditujukan untuk anda. Sebenarnya apapun tujuan tulisan ini hanya untuk mendeskripsikan siapa saya dalam sebuah tulisan jadi. Anda yang mengenal saya pasti tahu, lebih mudah buat saya untuk mengumbar lewat tulisan. Walaupun tak ragu saya ucapkan dengan lisan lugas dan mendayu - dayu.

*nb: baca lagi paragraf 1-5 diatas (paragraf orientasi)

Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar