secarik catatan ungkapan
Rabu, 05 September 2012
puisi - serdadu bendera
Bersabda simbol berani
Berdamping lambang suci
Berkoar gagah sudi mati
Kami mengumandang hikmat
Mengangkat tangan serata mata
Syahdu mengalun indonesia raya
Tanpa perang tanpa senjata
Kami serdadu pemuda
Menjejakkan kaki di rerumputan
Bergerak seragam memacu langkah
Menggotong riak tatapan barisan
Menuju kibar megah diatas sana
Kami barsabda dalam derap beriring
Mengantar raga untuk berjuang
Demi cita cita dan harapan
Demi kibar gagah Merah Putih
Demi harga diri pejuang yg mati
Demi cinta kepada negeri ~
puisi - dibawah gradasi senja
dikala senja menampakan gradasi kemerahan diseberang sisi gelap langit. ditingkahi semilir angin yang menggoyang pucuk2 lemah dari sebatang kokoh pohon disatu sisi bukit yang hijau kemilau. senja!
imaji merengkuh dilema kala tulisan tak berwarna berikrar diatas kertas putih yang waktu itu sudut2nya berlumur air mata tanpa rasa didada.
merengkuh haru bercampur cemas, ketika tersadar bahwa aku punya segalanya tapi dalam sendiri mengalunkan lagu lagu ragu tanpa suara.
aku ragu, bercerita kepada pucuk layu tentang haruku. cemas, akan nafas angin yang kadang terhenti mencari celah untuk berlalu.
senja ini, ambigu kemerahan dari seberang langit gelap menemani aku.
yang menggoyangkan kaki menahan cemas tentang akan runtuhnya langit kelabu. menanti datangnya malam untuk bercerita didalam gelap, kepadamu!
puisi - aku percaya
aku percaya emosi tertahan barisan kata
aku percaya tulisan hitam putih lebih berwarna
aku percaya..
tidak lebih dari kata, yang kutuliskan untuk segenap pelampiasan satu adegan dalam diorama kaku kehidupan.
tidak pernah lebih dari kata, yang aku hapus untuk penuhi kebutuhan hati putih dalam redam kehangatan.
tidak hanya untuk sebuah kata, ketika kutemukan kau dari titik titik buta dalam baris baris kata.
kau!
barisan kata yang belum terbaca, yang terus menikam aku hanya dengan senyum. mengalir dalam pembuluh tanpa terbaca. menyumbat nadi ironi hingga kering lidah untuk memaki.
kau!
bukan barisan kata yang biasa aku cinta. bukan pendiam manja yang berikrar dalam nyanyian memaksa.
tapi membakar bagai picu dalam seonggok buku.
kau...
bidadariku!
puisi - bola kaca
prasangka akan sakit jiwa mebawa aku semakin terbawa ketengah pusaran garis garis kusut tanpa ujung..
didorong kepasrahan aku menyerah, kepada ambigu ambigu kata dalam pilihan yang terjebak dibalik klise pudar. aku tersadar..
terbangun dari mimpi buruk kedalam kenyataan yang lebih parah buruk kemudian mendapati aku dibawah selembar kertas putih bersih bernoda darah merah beku. aku kaku..
tanpa terpejam, melihat langit kelam, tanpa rasa tanpa apa apa, hanya memandang gerak gerik awan yang seakan menertawai kedunguan bocah terdiam, diatas papan papan usang bertuliskan kisah sepadan kehidupan dalam bola kaca.. berkabut, tak terbaca.. tapi dirasa..
hanya aku, yang berputar putar didalam rongga bola kaca berkabut kelabu mencoba cari jalan keluar.. walau diluar hujan..
coretan kelabu, mencatat kesintingan pilihan pilihan yang diakhir cerita terukir mapan dijidat bocah kaku dibawah lembaran awan putih bersih berikrar, 'dimanapun, disini, didalam bola kaca aku tak kemana mana.. mencari jalan keluar hingga runtuhan awan pecah dibawah bola kaca yang kian usang resah, menunggu waktu retak hingga kemudiah pecah bersimbah darah'..
puisi - jika sejenak
jika sejenak detik terhenti.
reruntuhan hujan tertahan.
kelam mendatang kawanan suram.
bergulat bingung tapi henti.
-butir keringat bergemuruh riuh dibawah luruh ekspresi wajah lusuh.
tertampar sepi ketika sepercaya pudar menghilang termakan redup resah.
-kalaulah keniscayaan asa senyata kenyataan rasa mungkin diam hanya endapan di dasar pilu.
semua terang benderang berkilau keemasan jika sejenak detik berlalu diujung waktu.
-sesadar dirasa hanya senyum senyum ciut diantara henti waktu waktu pilu.
puisi - insan muda membela
Anugrah-Mu, Tuhan
Dari ujung batas sabang menyeberang
Hingga akhir timur sang mutiara hitam
Nusantara terbentang megah bagai surga, hijau zamrud Khatulistiwa
Kami insan muda
Yang 'tak pernah angkat senjata
Yang buta ilmu gerilya
Tapi 'tak kurang dari setitik sama
Semangat empat lima untuk membela
Disini
Dimana seluruh anak negeri
Gaungkan Indonesia Raya diawal hari
Serempak berdiri langkahkan kaki
Kibarkan Merah Putih diujung tinggi
Khidmat peringati hari Proklamasi
Hingga habis air mata menangis
Hingga terhenti darah mengalir
Hingga tak lagi jantung berdetak
Kami rela
Kami bela segenap utuh ibu pertiwi
Demi segenap janji proklamasi
Dengan berjuang menggapai prestasi
Senin, 19 September 2011
Tuesday, 20 September 2011 at 01:45
Cerita tentang seorang teman
Kami tumbuh bersama melewati berbagai waktu
Segudang cerita kami rajut
Pertentangan dan kesepahaman lalu lalang di setiap kebersamaan
Dulu sekali, seiring kami bertumbuh, sering kami berbagi
Tak jarang kami bertengkar
Berkejaran menggapai cita cita yang masing masing kami berbeda
Kami berbeda, tapi satu asa. Satu pengertian dalam suka dan duka
Ibarat lagu yang disusun notasi notasi nada
Ibarat pohon yang tumbuh sebatang kara dengan daun daun berguguran
Ibarat perjalanan yang diliputi kemelut dan tawa
Teman yang tak selalu bersama
Kami dalam hidup kami yang berbeda tetap memandang hidup dalam lingkup sama
Demikian dekat kami, tak ada penghalang berbagi cerita
Dia tahu aku, aku tahu dia. Demikianlah kami
Tak merubah apapun hubungan kami hingga berubahnya masa
Tapi perubahan pemikiran dari kami
Entah apa yang meliputi pandangan, hingga seorang teman berubah
Bukan hubungan, tapi pandangan
Ada sesuatu yang menutupi pemahaman aku untuk dia seorang teman
Pelbagai hal abstrak yang aku pandang pada pemikiran teman
Menutupi lingkar kehidupan teman pada batas yang dulu sering aku jangkau
Memanglah baik buruknya sangat relative untuk dihakimi diantara kami
Beberapa hal dipandang baik tapi sebagian terbatas pada saling pengertian
Teman yang perubah masihlah teman yang kesepahaman
Tapi lingkup yang berbeda jadi sebab kami kini berbeda
Pengetahuan surgawi jadi alasan
Aku hanya mengikuti. Mungkin karena dominasi aroma harum kebaikan
Kebaikan yang mainstream, stereotip.
Teman kini lebih benar. Dalam lingkupnya sendiri, menurutku.
Curigaku musababnya bisnis kebenaran yang diusung teman
Lingkungan uang yang jadi doktrin curigaku mampu merubah lapisan utama pandangan
Pandangan temanku.
Walaupun pada dasarnya tidaklah salah memandang dunia secara benar
Walaupun tidaklah dapat disalahkan teman memandang surga dari bawah kanopi kebenaran.
Walaupun kebenaran yang dimaksud hanya warna kelabu bagi teman yang buta warna
Harapanku kepada teman hanya harapan
Untuk menjadi tetap seperti sebelumnya
Aku hanya teman yang mampu mengikuti
Bukan menjadi kau teman
Sepertinya hanyalah waktu yang mampu menilai
Kau tetap temanku dengan komposisi yang sama
Dekat dan hangat
Sepaham walau tak sama
Kau masih rio kecil yang menangkap bola
Yang mengayuh sepeda
Yang berkecipak berenang bersama aku, teman!